Diberdayakan oleh Blogger.

sejarah nabi dan al qur'an


Sejarah, Nabi dan Al-Qur’an: Usaha Awal Meneladani Perilaku Nabi (Sebuah pengantar)

                                                     
85121210265986-1-i.jpg
Sejarah, Nabi dan Al-Qur’an: Usaha Awal Meneladani Perilaku Nabi (Sebuah pengantar)

Saleh Lapadi
Sesungguhnya Rasulullah adalah teladan yang baik bagi kalian.
Meneladani Rasulullah bagi siapa yang mengharap Allah dan hari akhir serta banyak berzikir kepada Allah
(Ahzab: 21)
Prolog
Banyak peristiwa besar dalam Islam yang kemudian dirayakan oleh kaum muslimin. Salah satunya adalah kelahiran Nabi Muhammad saw. Kelahiran yang disertai beberapa kejadian lain di muka bumi menciptakan suasana tersendiri. Memang, setiap kejadian itu menambah bukti atas kebesaran Muhammad saw Namun, pribadi Muhammad saw sendiri lebih besar, lebih agung dari sekian kejadian. “Sesungguhnya engkau (Nabi) memiliki akhlak, kepribadian yang agung” (Qalam: 4).
Kelahiran Nabi Muhammad saw mengubah wajah dunia. Ketamakan, kezaliman, penindasan dan perpecahan diubah menjadi kewarakan, keadilan, persaudaraan dan persatuan. Tentunya, perubahan yang dilakukan lebih dari ini sesuai dengan misinya sebagai pemberi hidayah terakhir. Muhammad adalah Nabi Akhir Zaman, syariatnya berlaku hingga akhir zaman.
Sayang seribu satu sayang, pada tahun-tahun terakhir ini, ada pihak-pihak yang mencoba menodai usaha- usaha yang telah dilakukan oleh Nabi. Kezaliman bahkan dituduhkan kepada kaum muslimin. Penindasan hanya dilakukan oleh orang Islam. Tindakan teror dan penyebutan teroris kepada umat Islam adalah bukti tersebut. Ketamakan adalah karakter kaum muslimin. Sudah tidak tersisa lagi ajaran tentang warak. Bukankah mereka yang memborong komoditas Barat tanpa pernah berpikir panjang adalah kaum muslimin? Lebih dari itu, pasar paling potensial industri Barat adalah kaum muslimin.
Di muka bumi ini, kaum yang paling tidak bisa bersatu hanyalah kaum muslimin. Lihat negara-negara Eropa yang dengan sigap membentuk Uni Eropa untuk mengantisipasi arogansi Amerika. Apakah arogansi Amerika di tanah Palestina masih belum cukup untuk menyatukan pendapat? Apakah tidak pernah terpikirkan oleh kaum muslimin bahwa perbedaan pendapat yang muncul tidak pernah membuat kita berbeda dalam keyakinan akan Allah, Nabi Muhammad saw dan Hari Akhir? Bukankah ibadah haji sanggup memberikan kesempatan kepada kaum muslimin untuk bersatu? Apa yang bakal terjadi bila satu sama lainnya tidak menahan diri untuk tidak berbeda? Dan …
Kelahiran Nabi Muhammad saw sebenarnya tidak hanya milik kaum muslimin, tetapi milik umat manusia. Penganut Kristen sangat berhutang kepada nabi Islam. Hal ini dapat dilihat pada sejarah kelahiran Isa al-Masih as. Tidak ada data sejarah yang pasti yang melaporkan ihwal kehidupan beliau. Apakah Isa as lahir tepat pada 1 Januari tahun satu Masehi, atau lahir sebelum itu, adalah isu yang masih diperselisihkan. Lebih dari itu, isu ini semakin krusial tatkala memeriksa wujud pribadi bernama Isa al-Masih as; apakah memang ia pernah ada. Pemeriksaan ini tidak pernah dapat dibuktikan. Hanya, melalui ayat-ayat al-Qur’an fakta keberadaan Isa al-Masih as tidak terbantahkan. Lebih dari sekedar dokumen semata-mata historis, al-Qur’an memang membawakan bukti-bukti sejarah tidak terbantahkan. Sebagai perbandingan, Injil yang memuat perihal kehidupan secara lebih detail dari al-Qur’an ditulis jauh setelah peristiwa penyaliban al- Masih. Di sisi lain, otentisitas Injil pun diragukan. Sekali lagi, al-Qur’an yang dibawa oleh Nabi Muhammad semestinya disikapi secara positif oleh saudara-saudara yang beragama Kristen dan Katolik (Murtadha Muthahhari, Sairi dar Sire-ye Nabavi, Qom, 1377 HS).
Kelahiran Nabi Muhammad dapat menjadi titik tolak persatuan agama-agama, sekurang-kurangnya antara Islam dan Kristen. Bila memang demikian, mengapa kelahiran sosok yang agung ini tidak dapat menjadi salah satu dasar ide persatuan kaum muslimin? Bukankah sejarah mencatat perpecahan umat Islam itu dimulai sepeninggalnya Nabi saw? Imam Ali as mencatat kejadian tersebut dengan ucapannya: “Ketika Nabi meninggal, kaum muslimin berselisih” (Nahjul Balaghah, surat ke-62).
Kaum musyrikin Mekkah amat menyadari posisi Nabi Muhammad saw sebagai figur persatuan kaum muslimin. Mereka mengoptimalkan kesadaran ini sebagaimana dalam perang Uhud. Taktik paling jitu agar pasukan kaum muslimin kocar-kacir hanyalah dengan menyebarluaskan berita bahwa Muhammad telah mati. Terbukti bahwa segera setelah sebagian kaum muslimin mendengar berita tersebut langsung berlarian, meninggalkan medan pertempuran. Sebuah sikap yang sangat tidak terpuji. Namun ini sebuah kenyataan pahit sejarah muslimin yang harus diterima. Nabi dan segelintir sahabat bertahan dan bertempur mati-matian melawan jumlah besar pasukan musuh. Nabi terluka. Gigi beliau tercerabut.
Kematian Nabi dalam sejarah adalah keniscayaan. Tak ada seorang pun yang menolak kenyataan ini. Lalu bagaimana peran Nabi selaku figur persatuan kaum muslimin dapat diwujudkan?
Secara langsung atau tidak, sebagian kaum muslimin telah terlibat di dalam kondisi meruncingnya perselisihan umat Islam dewasa kini. Oleh mereka, Nabi Muhammad tidak lebih dari potongan sejarah. Apa yang tertulis lewat hadis, itulah Nabi. Bagi mereka, Nabi sudah tidak ada lagi di tengah-tengah kaum muslimin. Sementara pada saat yang sama, mereka percaya bahwa umat Islam yang mati syahid senantiasa hidup dan mendapatkan rezeki dari Allah swt (Ali Imran:169). Kepercayaan akan kematian dan ketiadaan Nabi di tengah kaum muslimin adalah bentuk lain dari keyakinan para sahabat yang memunculkan perselisihan. Ihwal meneladani Nabi dimaknai sedemikian sempit sehingga tidak pergi ke kuburan dan tidak membaca Yasin. Keteladanan Nabi dalam perjalanannya ke Tha’if seakan-akan sirna di telan sikap tergesa-gesa, pengkafiran dan pemusyrikan sesama muslimin. Nabi bahkan dilukai, namun hanya berkata: “… Fa Innahum Qaumun Laa Ya’lamun”. Nabi tidak tergesa-gesa mengusulkan kepada Allah agar menyiapkan tanah kaplingan di Neraka bagi mereka yang mencederainya. Sang Teladan mencontohkan sesuatu yang mulia, sebagian yang lain merasa lebih mulia lagi bila teladan tersebut dinaikkan tolok ukurnya dan, dipersempit maknanya.
Kenyataan ini mendorong perlunya sebuah kajian komprehensif mengenai sikap dan perilaku Nabi. Keteladanan beliau sudah tidak disangsikan lagi. Allah berfirman” “Dan ia tidak berpikir (yanthiqu) sesuai dengan hawa nafsunya melainkan tuntunan wahyu yang datang padanya” (Najm: 3). Kata yanthiqu perlu diartikan sebagai berpikir karena semua ulama sepakat bahwa makna ayat tersebut tidak terbatas pada ucapan saja tapi juga mencakup perbuatan dan takrir nabi. Berarti seluruh perilaku Nabi berasal dari cara berpikir wahyu. Pandangan dunia Nabi adalah wahyu. Sesungguhnya Rasulullah adalah teladan yang baik bagi kalian. Meneladani Rasulullah hanya bagi siapa yang mengharap Allah dan hari akhir serta banyak berzikir kepada Allah.
Sejarah
Kata “sejarah” dalam bahasa Arab terkadang dipadankan dengan kata “tarikh”. Sebagaimana banyak buku sejarah disebut dengan kata ini. Sebagai contoh, buku sejarah Islam diberi nama Tarikh al-Ya’qubi. Ada juga Tarikh Thabari yang terkenal itu. Namun, terkadang juga kata siroh yang dipakai. Lihat buku sejarah pertama yang ditulis oleh Ibnu Hisyam yang bernama Siroh An-Nabi, begitu juga Siroh al-Halabi. Kata siroh berasal dari saaro yang artinya berjalan, bergerak (Al-Jauhari, Ismail bin Hammad, Taj Al-Lughah wa Shihhah Al-Arobiyah, 1987, juz 1, hal 273, 691- 692.). Kata siroh sendiri adalah masdar yang menunjukkan arti bentuk. Bila diartikan, siroh adalah bentuk gerak dan jalan. Dengan kata lain, siroh adalah metode perilaku, secara umum menyangkut sikap dan ucapan seseorang. Kaitannya dengan Nabi, kata siroh memberikan makna metode dan bentuk perilaku Nabi. Mayoritas buku sejarah yang ditulis berkaitan dengan sejarah Nabi menulis sair yang berarti jalan dan gerakan, sekalipun judul buku yang ditulis diberi nama siroh Nabi.
Sangat mungkin sekali mereka yang memberi nama bukunya dengan kata siroh, bukan tarikh, hendak menyampaikan pesan ini. Namun pada kenyataannya, sebagian besar, kalau tidak dikatakan seluruhnya, hanya berisi angka-angka, kasus dan kejadian. Saat ini, sejarah yang oleh Imam Khomeini disebut sebagai guru manusia, dan menurut pepatah bahasa Indonesia, guru yang paling baik, agaknya tidak lagi menjadi bagian dari masalah sosial, namun telah bermetamorfosa menjadi sederetan angka-angka matematika. Bahkan mungkin telah menjadi dongeng pengantar tidur. Ucapan-ucapan Nabi dipergunakan untuk menakut-nakuti anak kecil yang tidak bisa dikontrol oleh orang tuanya. Begitu juga dipergunakan untuk mengkafirkan dan memusyrikkan golongan lain yang tidak seide dengannya.
Kenyataan ini tidak berarti bahwa umat manusia tidak memerlukan sejarah yang demikian. Sejarah mencatat semua itu agar kita manusia tidak kehilangan masa lalu. Bangsa yang tidak memiliki masa lalu tidak akan pernah mampu menunjukkan identitas dirinya. Yang dilakukan adalah mengkonsumsi budaya asing. Sebuah bangsa yang tidak memiliki masa lalu hanya dapat menjadi penjiplak budaya orang lain. Bila ada seseorang melakukan tindakan menjiplak karya orang lain ia disebut pelaku tindak kriminal plagiasi. Bagaimana dengan sebuah bangsa yang menjiplak budaya bangsa lain? Apakah dapat dikatakan bahwa sebuah negara dan bangsa demikian itu telah melakukan tindakan kriminal? Yakni, sebuah bangsa plagiator.
Mempelajari sejarah sebagai tarikh sudah merupakan keharusan, namun tidak sekedar menghafalkan sederetan angka-angka dan cerita. Harus dilakukan pembebasan, pendobrakan atas angka-angka meraih makna. Sejarah yang dibaca harus menjadi siroh. Kumpulkan potongan-potongan cerita, selidiki kesamaan, dan temukan pesan.
Al-Qur’an dan Sejarah
Al-Qur’an tidak diwahyukan sebagai buku sejarah. Walaupun demikian, al-Qur’an mengunakan sejarah sebagai salah satu metode untuk memberi petunjuk kepada umat manusia. Mungkin ini salah satu alasan mengapa sejarah yang disampaikan tanpa mencantumkan angka-angka terjadinya peristiwa yang dinukil. Bahkan kalau dilihat dalam surat al-Kahfi berkenaan dengan jumlah Ashabul Kahfi, al-Qur’an menekankan bahwa jumlah mereka bukanlah sesuatu yang penting. Misi yang dibawa oleh mereka lebih penting untuk diketahui dari sekedar bahwa angka ketiga dan empatnya adalah anjing, atau keempat dan kelimanya adalah anjing. Lebih dari itu, berapa lama mereka tinggal di dalam gua juga masih dianggap oleh Allah sebagai sesuatu yang tidak begitu penting. Biarkan itu menjadi rahasia Allah.
Al-Qur’an lebih menekankan pentingnya mengambil pelajaran dari penggalan sejarah manusia. Sejarah kehidupan manusia selalu berputar dan kondisi yang sama dapat terulang kembali bisa syarat-syaratnya terpenuhi (Ali Imran: 140). Dalam sejarah selalu saja ada kebenaran yang tercecer.
Oleh karenanya hadis menyebutkan bahwa raihlah hikmah karena ia adalah milik orang mukmin yang tercecer.
Mempelajari sejarah dengan sudut pandang siroh merupakan cara berpikir Quranik. Banyak sekali ayat-ayat yang memerintahkan manusia agar melakukan perjalanan. Hal ini tidak lain karena dalam perjalanan memberikan manusia sejumlah data-data tentang kondisi yang ada atau telah lewat. Penekanan ini sangat terasa pada surat Yusuf: 111 ketika Allah menyebutkan bahwa pada sejarah (cerita-cerita) ada pelajaran yang dapat dipetik bagi mereka yang mau memikirkan itu.
Bila manusia diperintahkan oleh Allah untuk mengambil pelajaran dari sejarah, itu karena di dalamnya ada percontohan yang dapat diambil. Benar, tidak semuanya dapat diambil namun mungkin ada percontohan yang dapat dijauhkan. Mengambil pelajaran dari sejarah dapat berbentuk mencontoh atau menjauhi.
Pribadi Nabi Muhammad saw disebutkan oleh Allah adalah pribadi yang keseluruhannya dapat dicontoh, tentunya tidak keistimewaan-keistimewaan yang dimilikinya. Ia adalah teladan yang sempurna (Ahzab: 21). Apa yang dibawanya menjadi harus diikuti (Hasyr: 7). Beliau menjadi sumber hukum syariat, baik ucapan, perbuatan atau taqrir.
Kedalaman Ucapan dan Perilaku Nabi
Sebagaimana al-Qur’an sampai saat ini menjadi obyek kajian para ilmuan dan ulama dan itu tidak pernah habis-habisnya bagaikan sumber air yang tak pernah kering, ucapan-ucapan Nabi pun demikian. Ucapan Nabi memiliki daya tarik sendiri karena kekhasannya yang berbeda dengan al-Qur’an. Beliau bersabda: “Allah memberikan saya kalimat-kalimat yang lengkap” (Syaikh Thusi, Amali, juz 2, hal, 98-99). Nabi hendak menjelaskan bahwa Allah swt memberinya kemampuan untuk mengucapkan sebuah kalimat pendek namun memiliki makna yang demikian luas.
Ada sebuah hadis yang melukiskan dengan indah bagaimana Nabi meramalkan masa depan berkaitan dengan ucapannya. Beliau berharap agar para sahabatnya untuk menuliskan hadis-hadisnya dan menjaganya agar sampai pada generasi yang akan datang. Sangat mungkin sekali bahwa generasi yang akan datang lebih dapat memahaminya. Ucapan beliau: “Farubba Hamili Fiqhin Ghairi Faqihin wa Rubba Hamili Fiqhin ila Man Huwa Afqahu minhu” (Abbas Al-Qummi, Safinatul Bihar, juz 1, hal. 392). (sangat mungkin sekali bahwa perawi hadis tidak memahami apa yang dibawanya. Sangat mungkin sekali bahwa perawi meriwayatkan sebuah hadis kepada orang yang lebih memahami darinya).
Hadis di atas menekankan bahwa generasi selanjutnya biasanya lebih dapat memahami dan menyempurnakan pemahaman generasi sebelumnya.
Kedalaman perbuatan Nabi dengan indah ditegaskan oleh Allah sebagai berikut: “Sesungguhnya Rasulullah adalah teladan yang baik bagi kalian. Meneladani Rasulullah bagi siapa yang mengharap Allah dan hari akhir serta banyak berzikir kepada Allah” (Ahzab: 21). Perilaku Nabi adalah sebuah cara bagaimana seorang muslim menjalani kehidupannya. Sebagaimana ucapan Nabi memiliki kedalaman makna begitu pula dengan perbuatannya.
Bukankah sering timbul pertanyaan bahwa mengapa di sini Nabi bersikap demikian sedangkan di tempat yang lain bersikap lain lagi. Jangankan berbicara tentang perbuatan Nabi yang umum sifatnya, untuk perilaku paling kecil Nabi pun dapat dijadikan undang-undang.
Kedalaman ucapan dan perbuatan Nabi Muhammad saw menjadikan kaum muslimin bersikap mawas diri. Senantiasa berusaha agar menyejajarkan dirinya dengan teladan agung Nabi Muhammad saw Ada satu pertanyaan ringan, seberapa banyak kita kaum muslimin mengenal ucapan-ucapan Nabi? Seberapa besarkah pengaruh perbuatan Nabi dalam perilaku sehari-hari kita?
Kejujuran sebuah bentuk keteladanan perilaku Nabi
Salah satu perilaku Nabi yang dijaga dengan ketat oleh beliau hingga akhir hayatnya adalah kejujuran. Sebelum menjadi Nabi oleh kaum musyrikin Mekah beliau disebut sebagai al-Amin. Orang yang tepercaya. Tidak ada satu pun dari orang Mekah yang mengingkari akan kejujuran Nabi. Ketika berdagang pun orang selain Mekah mengenal kejujurannya.
Pada peristiwa peletakkan batu Hajar Aswad, setelah peristiwa banjir yang menghancurkan Ka’bah, kabilah- kabilah Quraisy berselisih mengenai siapa yang meletakkan batu Hajar Aswad. Untuk menyelesaikan perselisihan ini mereka sepakat untuk mencari orang yang tepat. Persetujuan mereka waktu itu adalah siapa yang lebih dahulu memasuki kawasan Ka’bah, dialah yang akan menyelesaikan masalah ini. Perselisihan tersebut hampir memunculkan peperangan antar kabilah. Muhammad mudalah orang yang mereka tunggu. Kata mereka: “Inilah orang yang paling dapat dipercaya. Ia adalah Muhammad. Kami rela dengan putusannya”.
Kejujuran jualah yang membuat beliau dipercaya untuk meletakkan batu Hajar Aswad di tempatnya. Kejujurannya mendatangkan keuntungan dalam perdagangan yang dilakukannya untuk Khadijah. Berkat kejujurannya Khadijah mempersunting beliau menjadi suaminya. Satu hal yang langka ditemukan pada masa kini. Sebelum menjadi Nabi, Muhammad muda membiasakan dirinya berlaku jujur.
Berbekalkan kejujuran inilah beliau menyampaikan kenabiannya di hadapan orang-orang Mekah. Beliau tidak langsung mengajukan mukjizat sebagaimana nabi-nabi yang lain. Misi dan ajaran yang diemban olehnya adalah harus dimulai dengan kejujuran. Setelah mendapat perintah untuk berdakwah secara terbuka, Nabi mengumpulkan orang-orang Mekah untuk menyampaikan risalahnya. Pertama yang dilakukannya adalah mengingatkan akan kepribadiannya. Mereka sama setuju bahwa mereka tidak pernah melihatnya melakukan kebohongan sedikit pun. Bahkan Nabi sempat menguji mereka dengan pertanyaan, seandainya ia mengabarkan di balik bukit tempat ia berdiri ada segerombolan pasukan yang akan menyerang kalian apakah kalian akan percaya dengan omonganku? Jawab mereka adalah “iya, kami percaya”.
Dengan berbekalkan kejujuran inilah umat Islam mengamalkan ajaran-ajaran keagamaannya. Kejujuran Nabi ketika menerima informasi dari langit yang disebut wahyu tidak dapat diragukan lagi. Begitu pula ketika menyampaikannya kepada manusia. Berawal dari kejujuran menyampaikan informasi wahyu, membuat ulama Islam membagi ucapan yang keluar dari mulut sucinya. Al-Qur’an adalah wahyu yang seluruhnya dari Allah, baik kata maupun makna. Amanat tertinggi yang tak pernah dikenal umat manusia sebelum pengutusan para Nabi terlebih Nabi Muhammad sebagai pamungkas para Nabi. Sampai saat ini sejarah belum pernah mencatat ada manusia, berkaitan dengan kejujuran, yang menyamai Nabi Islam. Yang kedua adalah hadis Qudsi. Makna dari Allah sedangkan lafad dari Nabi. Dan yang ketiga adalah hadis Nabi sendiri di mana lafad dan makna dari beliau sendiri.
Kejujuran yang dimiliki oleh beliau tidak didapat begitu saja. Sama dengan keutamaan lainnya didapat dengan berlatih secara intensif. Pada awalnya ia melatih dirinya untuk jujur terhadap dirinya sendiri. Ia selalu berlaku jujur baik dengan keluarga, tetangga dan masyarakat sekitarnya. Menurut beliau, bangun keagamaan harus berdiri di atas kejujuran. Mungkin ini salah satu sebabnya, berkaitan dengan anaknya Fathimah, beliau berkata: “Seandainya Fathimah melakukan pencurian niscaya aku potong tangannya”. Ini bukan menunjukkan kesadisan tetapi kejujuran seorang pemimpin dalam melaksanakan perintah agamanya. Kejujuran terhadap orang lain memang sulit. Namun lebih sulit lagi adalah bersikap jujur terkait dengan keluarga dan bahkan diri sendiri. Sebuah pesan moral yang sulit dicari bandingannya.
Mungkin sebagian orang meyakini relativisme moral. Namun ketegasan sikap Nabi Muhammad saw dalam masalah kejujuran tidak pernah berubah. Hadis beliau berkaitan dengan anaknya dapat menjadi dalil yang baik untuk masalah ini. Nabi tidak pernah melakukan kompromi dengan kebohongan. Kebohongan akan menghancurkan hubungan sosial manusia. Bila kebohongan telah merasuk dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat niscaya kehancuran masyarakat tersebut tinggal menunggu waktu. Kejujuran adalah keharusan. Oleh Nabi bangunan masyarakat islam adalah kejujuran. Rasulullah saw ketika ditanya apakah orang mukmin kikir dan pengecut? Beliau menjawab: “iya”. Namun ketika ditanya apakah orang mukmin itu pembohong? Beliau dengan tegas mengatakan” “tidak! Orang mukmin tidak berbohong”.
Teks-teks
Ayat-ayat Al-Qur’an:
1. Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan berusahalah untuk senantiasa bersama orang-orang yang jujur .
2. Orang-orang yang mengada-adakan kebohongan hanya mereka yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah. Mereka adalah orang-orang yang berbohong .
Riwayat-riwayat tentang Kejujuran:
1. Dari Rasulullah saw: “Keindahan adalah kejujuran/kebenaran sebuah ucapan. Keutamaan adalah kebaikan sebuah perbuatan yang benar”.
2. Dari Rasulullah saw: “Kejujuran adalah berkah. Kebohongan tidak membawa keberuntungan”.
3. Dari Rasulullah saw: “Hendaklah kalian bersikap jujur, karena kejujuran adalah salah satu pintu surga”.
4. Dari Rasulullah saw: “Jangan terpana dengan banyaknya salat, puasa, haji, dan gemuruh suara mereka di malam hari (salat malam), tapi perhatikan kebenaran ucapan dan penunaian amanat mereka”.
5. Dari Imam Ali as: “Kejujuran adalah amanah. Kebohongan adalah pengkhianatan”.
6. Dari Imam Ali as: “Orang yang jujur adalah orang yang mulia dan terhormat. Seorang pembohong adalah orang yang lemah dan hina”.
7. Dari Imam Ali as: “Kejujuran adalah keindahan manusia dan penguat iman”.
8. Dari Imam Baqir as: “Pelajarilah kejujuran sebelum berbicara”.
9. Dari Imam Shadiq as: “Hiasan ucapan adalah kejujuran”.
10. Dari Imam Shadiq as: “Seorang muslim yang berkata jujur tentang seorang muslim yang lain kemudian orang muslim itu mendapat bahaya maka ia dicatat sebagai orang yang berbohong. Barang siapa yang ditanya tentang seorang muslim kemudian dia berbohong untuk menolong orang muslim lain dari bahaya, niscaya ia tercatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur”.
Riwayat-riwayat tentang Kebohongan:
1. Dari Rasulullah saw: “Pengkhianatan terbesar adalah engkau berbicara dengan saudaramu di mana ia membenarkan ucapanmu sementara engkau membohonginya” .
2. Dari Rasulullah saw: “Bila seorang hamba berbohong sekali, malaikat akan menjauhkan dirinya sejauh satu mil karena bau busuk yang keluar dari apa yang diucapkannya”.
3. Dari Rasullah saw: “Kebohongan adalah salah satu pintu kemunafikan”.
4. Dari Rasulullah saw: “Nabi ditanya, apa sajakah perbuatan orang ahli surga itu? Nabi Menjawab: “Kejujuran. Bila hamba jujur berarti ia akan melakukan kebaikan. Bila ia melakukan kebaikan maka ia akan beriman. Dan bila ia beriman niscaya ia akan masuk surga”. Kemudian beliau ditanya kembali: “Wahai Rasulullah lalu apa sajakah perbuatan ahli neraka itu?” Nabi menjawab: “Kebohongan. Bila seorang hamba melakukan kebohongan maka ia termasuk orang yang fasik. Dan bila kefasikannya dilanjutkan ia akan menjadi orang kafir. Dan bila ia kafir niscaya masuk neraka”.
5. Dari Rasulullah saw: “Celakalah orang yang berbicara dan kemudian ia berbohong agar orang lain tertawa. Celakalah ia. Celakalah ia”.
6. Dari Imam Ali as: “Jaga dan pertahankan diri kalian dari kebohongan. Kebohongan adalah derajat terendah dari moral seseorang. Kebohongan sejenis kejelekan dan bagian dari kerendahan”.
7. Dari Imam Zainal Abidin as beliau menasehati anak-anaknyanya: “Takutlah kalian akan kebohongan baik besar maupun kecil, dalam kondisi serius ataupun bercanda. Seseorang yang melakukan kebohongan kecil akan memiliki keberanian untuk melakukan kebohongan dengan skala yang lebih besar”.
8. Dari Imam Baqir as: “Sesungguhnya Allah menjadikan kejelekan dan mengikatnya dengan beberapa gembok. Allah menjadikan kunci gembok-gembok tersebut adalah minuman keras. Sementara kebohongan lebih jelek dari minuman keras yang memabukkan”.
9. Dari Imam Shadiq as: “Sesungguhnya tanda-tanda orang pembohong itu adalah ia mengabarkanmu berita langit dan bumi, timur dan barat. Bila engkau bertanya kepadanya tentang hukum-hukum Allah, halal dan haram, ia tidak apa-apa”.
10. Dari Imam Shadiq as: “Janganlah engkau berbohong karena itu akan menghilangkan kewibawaan”.
Rujukan:
Al-Bihar, 72/235/2, (dinukil dari Rei Shahri, ibid 3/2675).
Al-Bihar, 72/236/3, (dinukil dari Rei Shahri, ibid 3/2674).
Al-Kafi, 2/340/8, (dinukil dari Rei Shahri, ibid 3/2676).
Al-Bihar, 72/192/8, (dinukil dari Rei Shahri, ibid 3/2677).

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar