Sejarah Kota Banyuwangi
Latar
belakang terbentuknya kota Banyuwangi
Untuk mengetahui kapan
persisnya terbentuknya kota Banyuwangi.Kita dapat melihat Hari Jadi
Banyuwangi (HARJABA),yang menjadi persoalan masih ada perdebatan tentang
hari jada Banyuwangi ini.Pada masa Orde Baru masalah ini atau hari jadi
Banyuwangi sudah ditetapkan sebagai hari jadi yaitu tanggal 18 Desember
1771.Yang jadi persoalan adalah pada tanggal 18 Desember 1771 masa
kemenangan pasukan Bayu terhadap bangsa kolonial Belanda,sehingga
pemimpin Belanda waktu itu yaitu Van Schaar meninggal.Yang lebih sadis
lagi mayat Van Schaar dimasak dan dimakan oleh pasukan bayu.Sehingga
kurang tepat di jadikan hari jadi Banyuwangi,karena dinodai
kanibalisme.
Perang Bayu
Perang Bayu,tanggal 18
Desember 1771 memiki risestensi yang cukup besar sekali, sebab momen
Perang “Puputan” Bayu terlampau ter-dramatisasi.Sedangkan istilah “
Puputan” yaitu berarti habis-habisan,sdangkan bahasa daerah Banyuwangi
istilah puputan berarti:selesai,berakhir,binasa,penghabisan,tamat.Kata
ini sangat rancu unntuk sebuah kalimat (wawancara dengan bapak armaya
yang merupakan budayawan Banyuwangi).
Tanggal 18 Desember 1771
ini masih banyak pertanyaan,soal konsepsuasasi nama nama,letak geografis
dari perang tersebut, yang sebenarnya tidak di Bayu melainkan di
Songgon yang waktu itu menerima serangan mendadak dari ki Rempeg (jaga
pati). Apakah benar ini merupakan perang yang mempertahankan ideologi,
apakah ini perang yang mengusir kaum penjajah atau kolonial, ataukah
perang saudara dan ataukah pemberontakan dan huru-hara?
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menyisakan banyak polemik akan hari
jadi Banyuwangi.
Memang, hari jadi
Banyuwangi oleh pihak-pihak tertentu yang bersikukuh dengan keyakinannya
berpendapat bahwa sepatutnya diangkat dari peristiwa monumental perang
bayu. C. Lekkerkerker dalam bukunya yang berjudul Balambangan yang
memberikan masukan atau sumber yang ada. Ia menjelaskan sebagai berikut
pada tanggal 18 Desember 1771 terjadi penyerangan membabibuta dari
orang-orang bayu; Van Schaar diserang dengan tiba-tiba dan gugur, begitu
juga kornet tinne. Dari orangt-orang Belanda hanya yang sedikit yang
selamat. Pada umunya orang-orang Madura bertahan dengan gagah berani dan
mereka berhasil menghalau kembali penyerangannya. Sisa-sisa dari
pasukan kompeni kembali ke kota Lateng dibawah pimpinan seorang kapten
madura yang bernama alap-alap. Menurut pengakuan Van Wikerman
menjelaskan bahwa jenazah Van Schaar dimasak oleh oarng-orang bayu dan
bahkan mereka memakannya, sedangkan kepalanya diarak berkeliling sebagai
tanda kemenangan. Kematian Van Schaar ini dijadikan patokan sebagai
hari jadi Banyuwangi.
Tanggal
24 Oktober 1774 sebagai alternatif baru HARJABA
Permulaan pemerintahan Mas
Alit terjadi tahun 1774, tepatnya sejak tanggal 5 Februari 1774 karena
pada waktu itulah baru diangkat denagn akte pengangkatan. Memang benar
bahwa Mas Alit direncanakan diangkat sebagai Bupati sejak lama yaitu
sejak tahun 1772. Oleh karena Mas Alit sukit ditemukan terutama pada
waktu perang berkecamuk di Blambangan (ternyata kemudian ditemukan di
Madura) maka pengangkatannya baru bisa dilakukan pada awal tahun 1774.
Pada waktu diangkat, Mas Alitt berkedudukan di Ulupampang (Cluring) dan
kemudian dengan ide Mas Alit ibu kota berpidah ke Banyuwangi.
Perpindahan ibu kota yang
sering terjadi itu, ada hubungannya dengan sistem kepercayaan yang
berlaku umum. Ibu kota dan sering juga diartikan kerajaan sebagai
keseluruhan, dianggap suci dan keramat. Malapetaka perang yang
mengakibatkan pertumpahan darah serta wabah penyakit adalah aib besar
yang dianggap menodai kesucian istana dan ibu kota. Ini dianggap akan
menimbulkan malapetaka berantai secara sirklus oleh karena itu ibu kota
dipindahkan ke Banyuwangi. Rupanya ada pula tuntutan situasi politik
yang sedang berkembang, yang mengharuskan Mas Alit memindahkan ibu kota
ke Banyuwangi (majalah budaya:jejak 2004. hal 46-51).
Pada hari selasa tanggal 8
Januari 1774 yaitu setelah para pembesar menghadap Mas Alit minta izin
kepada raja Madura agar bisa pulang ke Blambangan. Untuk bisa memenuhi
pembesar Blambangan dan permintaan VOC. Tanggal 31 Januari Mas Alit
beserta rombongannya tiba di Ulumpampang tempat kediaman residen barulah
pada hari sabtu tanggal 5 Februari 1774 diangkat sebagai residen atau
bupat. Sejak saat itu Mas Alit secara formal dan sah menjadi bupati
Blambangan. Pembangunan istana Banyuwangi, baru dianggap selesai pada
tanggal 14 Oktober 1774. Ini pun sementara waktu sebab dalam rencana,
istana akan diteruskan pembangunannya setelah lima tahun kemudian.
Istana Mas Alit di Banyuwangi terletak di depan benteng VOC. Barulah
pada tanggal 24 Oktober 1774, Mas Alit menunggalkan Ulumpampang dan
berangkat ke Banyuwangi serta langsung menuju istana. Pada waktu itu
juga, Banyuwangi berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan pusat kegiatan
ekonomi. Jadi tanggal 24 Oktober 1774 merupakan perpindahan ibu kota
dari Ulumpampang ke Banyuwangi. Ini yang dijadikan sebagai alternatif
baru sebagai hari jadi Banyuwangi.
Mas Alit
Sebuah realitas jaman,
bahwa 24 Oktober, ketika Mas Alit sang bupati Banyuwangi pertama secara
resmi melakuakn perpindahan ibu kota dengan ditandai keberangkatannya
dari Ulupampang menuju istana Banyuwangi. Kondisi ini telah membawa
perubahan yang sangat besar. Kebijakan Mas Alit telah melahirkan
paradikma baru pembangunan di Banyuwangi.
Banyuwangi, akhirnya
berkembang menjadi pusat kegiatan ekonomi, politik, dam budaya.
Terbukti, Banyuwangi eksis sampai hari ini dan terus tumbuh berkembang
sebagai pusat pemerintahan yang dinamis. Mas Alit sang pembawa
pencerahan melalui kebijakan-kebijakan yang cerdas, teliti,
bertanggungjawab dan selalu berpihak pada rakyat. Terbukti, usulan
tentang penyerahan wajib kepada VOC yang berupa pajak inatura, akhirnya
dihapus, terkait dengan krisis ekonomi akibat konflik berkepanjangan
(pusat studi budaya Banyuwangi.2005)
Kebijakan-kebijakan lain,
sebelum Mas Alit berkuasa, ada kerja rodi dan tindakan-tindakan kejam di
Ulumpampang, ketika pembangunan kota, awalnya dengan upah yang rendah
dan kekurangan sumber-sumber tenaga. Kemudian Mas Alit kepada pihak
Belanda agar upahnya ditinggikan, hingga banyak pencari kerja dan
sukarelawan untuk mempercepat pembangunan kota.
Jika Mas Alit sebagai antek
orang kolonial, itu anggapan yang tidak benar. Sebab secara politis,
Mas Alit, meskipun seorang penguasa, ia benar-benar memihak pada rakyat.
Menganggap Mas Alit yang merupakan simbol Blambangan atau trah
Blambangan, sebagai antek kolonial ialah pelecehan. Sebab sangat jelas
bahwa Mas Alit memihak rakyat dengan semua kebijakan-kebijakan
politiknya. Hal ini karena darah pejuang benar-benar berada pada diri
Mas Alit. Terbukti pula dengan kematiannya yang dibunuh di tengah jalan,
di Sedayu-Gresik. Mas Alit adalah muslim yang taat, dibuktikan dengan
penataan arsitetur kota Banyuwangi yang sarat akan filosofi islamnya,
ada masjid agung baiturahman, pendopo Sabha Swagatha blambangan, penjara
/ kapolres Banyuwangi, dan dari sini sirkulasi perekonomian berjalan
lancar(Radar Banyuwangi:Jawa Pos.2005)
0 komentar:
Posting Komentar