Sejarah, Nabi dan Al-Qur’an: Usaha Awal Meneladani Perilaku Nabi (Sebuah pengantar)
Sejarah, Nabi dan
Al-Qur’an: Usaha Awal Meneladani Perilaku Nabi (Sebuah pengantar)
Saleh Lapadi
Sesungguhnya Rasulullah adalah teladan yang baik
bagi kalian.
Meneladani Rasulullah bagi
siapa yang mengharap Allah dan hari akhir serta banyak berzikir kepada
Allah
(Ahzab: 21)
(Ahzab: 21)
Prolog
Banyak peristiwa besar
dalam Islam yang kemudian dirayakan oleh kaum muslimin. Salah satunya
adalah kelahiran Nabi Muhammad saw. Kelahiran yang disertai beberapa
kejadian lain di muka bumi menciptakan suasana tersendiri. Memang,
setiap kejadian itu menambah bukti atas kebesaran Muhammad saw Namun,
pribadi Muhammad saw sendiri lebih besar, lebih agung dari sekian
kejadian. “Sesungguhnya engkau (Nabi) memiliki akhlak, kepribadian yang
agung” (Qalam: 4).
Kelahiran Nabi Muhammad
saw mengubah wajah dunia. Ketamakan, kezaliman, penindasan dan
perpecahan diubah menjadi kewarakan, keadilan, persaudaraan dan
persatuan. Tentunya, perubahan yang dilakukan lebih dari ini sesuai
dengan misinya sebagai pemberi hidayah terakhir. Muhammad adalah Nabi
Akhir Zaman, syariatnya berlaku hingga akhir zaman.
Sayang seribu satu sayang,
pada tahun-tahun terakhir ini, ada pihak-pihak yang mencoba menodai
usaha- usaha yang telah dilakukan oleh Nabi. Kezaliman bahkan dituduhkan
kepada kaum muslimin. Penindasan hanya dilakukan oleh orang Islam.
Tindakan teror dan penyebutan teroris kepada umat Islam adalah bukti
tersebut. Ketamakan adalah karakter kaum muslimin. Sudah tidak tersisa
lagi ajaran tentang warak. Bukankah mereka yang memborong komoditas
Barat tanpa pernah berpikir panjang adalah kaum muslimin? Lebih dari
itu, pasar paling potensial industri Barat adalah kaum muslimin.
Di muka bumi ini, kaum
yang paling tidak bisa bersatu hanyalah kaum muslimin. Lihat
negara-negara Eropa yang dengan sigap membentuk Uni Eropa untuk
mengantisipasi arogansi Amerika. Apakah arogansi Amerika di tanah
Palestina masih belum cukup untuk menyatukan pendapat? Apakah tidak
pernah terpikirkan oleh kaum muslimin bahwa perbedaan pendapat yang
muncul tidak pernah membuat kita berbeda dalam keyakinan akan Allah,
Nabi Muhammad saw dan Hari Akhir? Bukankah ibadah haji sanggup
memberikan kesempatan kepada kaum muslimin untuk bersatu? Apa yang bakal
terjadi bila satu sama lainnya tidak menahan diri untuk tidak berbeda?
Dan …
Kelahiran Nabi Muhammad
saw sebenarnya tidak hanya milik kaum muslimin, tetapi milik umat
manusia. Penganut Kristen sangat berhutang kepada nabi Islam. Hal ini
dapat dilihat pada sejarah kelahiran Isa al-Masih as. Tidak ada data
sejarah yang pasti yang melaporkan ihwal kehidupan beliau. Apakah Isa as
lahir tepat pada 1 Januari tahun satu Masehi, atau lahir sebelum itu,
adalah isu yang masih diperselisihkan. Lebih dari itu, isu ini semakin
krusial tatkala memeriksa wujud pribadi bernama Isa al-Masih as; apakah
memang ia pernah ada. Pemeriksaan ini tidak pernah dapat dibuktikan.
Hanya, melalui ayat-ayat al-Qur’an fakta keberadaan Isa al-Masih as
tidak terbantahkan. Lebih dari sekedar dokumen semata-mata historis,
al-Qur’an memang membawakan bukti-bukti sejarah tidak terbantahkan.
Sebagai perbandingan, Injil yang memuat perihal kehidupan secara lebih
detail dari al-Qur’an ditulis jauh setelah peristiwa penyaliban al-
Masih. Di sisi lain, otentisitas Injil pun diragukan. Sekali lagi,
al-Qur’an yang dibawa oleh Nabi Muhammad semestinya disikapi secara
positif oleh saudara-saudara yang beragama Kristen dan Katolik (Murtadha
Muthahhari, Sairi dar Sire-ye Nabavi, Qom, 1377 HS).
Kelahiran Nabi Muhammad
dapat menjadi titik tolak persatuan agama-agama, sekurang-kurangnya
antara Islam dan Kristen. Bila memang demikian, mengapa kelahiran sosok
yang agung ini tidak dapat menjadi salah satu dasar ide persatuan kaum
muslimin? Bukankah sejarah mencatat perpecahan umat Islam itu dimulai
sepeninggalnya Nabi saw? Imam Ali as mencatat kejadian tersebut dengan
ucapannya: “Ketika Nabi meninggal, kaum muslimin berselisih” (Nahjul
Balaghah, surat ke-62).
Kaum musyrikin Mekkah amat
menyadari posisi Nabi Muhammad saw sebagai figur persatuan kaum
muslimin. Mereka mengoptimalkan kesadaran ini sebagaimana dalam perang
Uhud. Taktik paling jitu agar pasukan kaum muslimin kocar-kacir hanyalah
dengan menyebarluaskan berita bahwa Muhammad telah mati. Terbukti bahwa
segera setelah sebagian kaum muslimin mendengar berita tersebut
langsung berlarian, meninggalkan medan pertempuran. Sebuah sikap yang
sangat tidak terpuji. Namun ini sebuah kenyataan pahit sejarah muslimin
yang harus diterima. Nabi dan segelintir sahabat bertahan dan bertempur
mati-matian melawan jumlah besar pasukan musuh. Nabi terluka. Gigi
beliau tercerabut.
Kematian Nabi dalam
sejarah adalah keniscayaan. Tak ada seorang pun yang menolak kenyataan
ini. Lalu bagaimana peran Nabi selaku figur persatuan kaum muslimin
dapat diwujudkan?
Secara langsung atau
tidak, sebagian kaum muslimin telah terlibat di dalam kondisi
meruncingnya perselisihan umat Islam dewasa kini. Oleh mereka, Nabi
Muhammad tidak lebih dari potongan sejarah. Apa yang tertulis lewat
hadis, itulah Nabi. Bagi mereka, Nabi sudah tidak ada lagi di
tengah-tengah kaum muslimin. Sementara pada saat yang sama, mereka
percaya bahwa umat Islam yang mati syahid senantiasa hidup dan
mendapatkan rezeki dari Allah swt (Ali Imran:169). Kepercayaan akan
kematian dan ketiadaan Nabi di tengah kaum muslimin adalah bentuk lain
dari keyakinan para sahabat yang memunculkan perselisihan. Ihwal
meneladani Nabi dimaknai sedemikian sempit sehingga tidak pergi ke
kuburan dan tidak membaca Yasin. Keteladanan Nabi dalam perjalanannya ke
Tha’if seakan-akan sirna di telan sikap tergesa-gesa, pengkafiran dan
pemusyrikan sesama muslimin. Nabi bahkan dilukai, namun hanya berkata:
“… Fa Innahum Qaumun Laa Ya’lamun”. Nabi tidak tergesa-gesa
mengusulkan kepada Allah agar menyiapkan tanah kaplingan di Neraka bagi
mereka yang mencederainya. Sang Teladan mencontohkan sesuatu yang mulia,
sebagian yang lain merasa lebih mulia lagi bila teladan tersebut
dinaikkan tolok ukurnya dan, dipersempit maknanya.
Kenyataan ini mendorong
perlunya sebuah kajian komprehensif mengenai sikap dan perilaku Nabi.
Keteladanan beliau sudah tidak disangsikan lagi. Allah berfirman” “Dan
ia tidak berpikir (yanthiqu) sesuai dengan hawa nafsunya melainkan
tuntunan wahyu yang datang padanya” (Najm: 3). Kata yanthiqu perlu
diartikan sebagai berpikir karena semua ulama sepakat bahwa makna ayat
tersebut tidak terbatas pada ucapan saja tapi juga mencakup perbuatan
dan takrir nabi. Berarti seluruh perilaku Nabi berasal dari cara
berpikir wahyu. Pandangan dunia Nabi adalah wahyu. Sesungguhnya
Rasulullah adalah teladan yang baik bagi kalian. Meneladani Rasulullah
hanya bagi siapa yang mengharap Allah dan hari akhir serta banyak
berzikir kepada Allah.
Sejarah
Kata “sejarah” dalam
bahasa Arab terkadang dipadankan dengan kata “tarikh”. Sebagaimana
banyak buku sejarah disebut dengan kata ini. Sebagai contoh, buku
sejarah Islam diberi nama Tarikh al-Ya’qubi. Ada juga Tarikh Thabari
yang terkenal itu. Namun, terkadang juga kata siroh yang dipakai. Lihat
buku sejarah pertama yang ditulis oleh Ibnu Hisyam yang bernama Siroh
An-Nabi, begitu juga Siroh al-Halabi. Kata siroh berasal dari saaro yang
artinya berjalan, bergerak (Al-Jauhari, Ismail bin Hammad, Taj
Al-Lughah wa Shihhah Al-Arobiyah, 1987, juz 1, hal 273, 691- 692.). Kata
siroh sendiri adalah masdar yang menunjukkan arti bentuk. Bila
diartikan, siroh adalah bentuk gerak dan jalan. Dengan kata lain, siroh
adalah metode perilaku, secara umum menyangkut sikap dan ucapan
seseorang. Kaitannya dengan Nabi, kata siroh memberikan makna metode dan
bentuk perilaku Nabi. Mayoritas buku sejarah yang ditulis berkaitan
dengan sejarah Nabi menulis sair yang berarti jalan dan gerakan,
sekalipun judul buku yang ditulis diberi nama siroh Nabi.
Sangat mungkin sekali
mereka yang memberi nama bukunya dengan kata siroh, bukan tarikh, hendak
menyampaikan pesan ini. Namun pada kenyataannya, sebagian besar, kalau
tidak dikatakan seluruhnya, hanya berisi angka-angka, kasus dan
kejadian. Saat ini, sejarah yang oleh Imam Khomeini disebut sebagai guru
manusia, dan menurut pepatah bahasa Indonesia, guru yang paling baik,
agaknya tidak lagi menjadi bagian dari masalah sosial, namun telah
bermetamorfosa menjadi sederetan angka-angka matematika. Bahkan mungkin
telah menjadi dongeng pengantar tidur. Ucapan-ucapan Nabi dipergunakan
untuk menakut-nakuti anak kecil yang tidak bisa dikontrol oleh orang
tuanya. Begitu juga dipergunakan untuk mengkafirkan dan memusyrikkan
golongan lain yang tidak seide dengannya.
Kenyataan ini tidak
berarti bahwa umat manusia tidak memerlukan sejarah yang demikian.
Sejarah mencatat semua itu agar kita manusia tidak kehilangan masa lalu.
Bangsa yang tidak memiliki masa lalu tidak akan pernah mampu
menunjukkan identitas dirinya. Yang dilakukan adalah mengkonsumsi budaya
asing. Sebuah bangsa yang tidak memiliki masa lalu hanya dapat menjadi
penjiplak budaya orang lain. Bila ada seseorang melakukan tindakan
menjiplak karya orang lain ia disebut pelaku tindak kriminal plagiasi.
Bagaimana dengan sebuah bangsa yang menjiplak budaya bangsa lain? Apakah
dapat dikatakan bahwa sebuah negara dan bangsa demikian itu telah
melakukan tindakan kriminal? Yakni, sebuah bangsa plagiator.
Mempelajari sejarah
sebagai tarikh sudah merupakan keharusan, namun tidak sekedar
menghafalkan sederetan angka-angka dan cerita. Harus dilakukan
pembebasan, pendobrakan atas angka-angka meraih makna. Sejarah yang
dibaca harus menjadi siroh. Kumpulkan potongan-potongan cerita, selidiki
kesamaan, dan temukan pesan.
Al-Qur’an dan Sejarah
Al-Qur’an tidak diwahyukan
sebagai buku sejarah. Walaupun demikian, al-Qur’an mengunakan sejarah
sebagai salah satu metode untuk memberi petunjuk kepada umat manusia.
Mungkin ini salah satu alasan mengapa sejarah yang disampaikan tanpa
mencantumkan angka-angka terjadinya peristiwa yang dinukil. Bahkan kalau
dilihat dalam surat al-Kahfi berkenaan dengan jumlah Ashabul Kahfi,
al-Qur’an menekankan bahwa jumlah mereka bukanlah sesuatu yang penting.
Misi yang dibawa oleh mereka lebih penting untuk diketahui dari sekedar
bahwa angka ketiga dan empatnya adalah anjing, atau keempat dan
kelimanya adalah anjing. Lebih dari itu, berapa lama mereka tinggal di
dalam gua juga masih dianggap oleh Allah sebagai sesuatu yang tidak
begitu penting. Biarkan itu menjadi rahasia Allah.
Al-Qur’an lebih menekankan
pentingnya mengambil pelajaran dari penggalan sejarah manusia. Sejarah
kehidupan manusia selalu berputar dan kondisi yang sama dapat terulang
kembali bisa syarat-syaratnya terpenuhi (Ali Imran: 140). Dalam sejarah
selalu saja ada kebenaran yang tercecer.
Oleh karenanya hadis
menyebutkan bahwa raihlah hikmah karena ia adalah milik orang mukmin
yang tercecer.
Mempelajari sejarah dengan
sudut pandang siroh merupakan cara berpikir Quranik. Banyak sekali
ayat-ayat yang memerintahkan manusia agar melakukan perjalanan. Hal ini
tidak lain karena dalam perjalanan memberikan manusia sejumlah data-data
tentang kondisi yang ada atau telah lewat. Penekanan ini sangat terasa
pada surat Yusuf: 111 ketika Allah menyebutkan bahwa pada sejarah
(cerita-cerita) ada pelajaran yang dapat dipetik bagi mereka yang mau
memikirkan itu.
Bila manusia diperintahkan
oleh Allah untuk mengambil pelajaran dari sejarah, itu karena di
dalamnya ada percontohan yang dapat diambil. Benar, tidak semuanya dapat
diambil namun mungkin ada percontohan yang dapat dijauhkan. Mengambil
pelajaran dari sejarah dapat berbentuk mencontoh atau menjauhi.
Pribadi Nabi Muhammad saw
disebutkan oleh Allah adalah pribadi yang keseluruhannya dapat dicontoh,
tentunya tidak keistimewaan-keistimewaan yang dimilikinya. Ia adalah
teladan yang sempurna (Ahzab: 21). Apa yang dibawanya menjadi harus
diikuti (Hasyr: 7). Beliau menjadi sumber hukum syariat, baik ucapan,
perbuatan atau taqrir.
Kedalaman Ucapan dan
Perilaku Nabi
Sebagaimana al-Qur’an
sampai saat ini menjadi obyek kajian para ilmuan dan ulama dan itu tidak
pernah habis-habisnya bagaikan sumber air yang tak pernah kering,
ucapan-ucapan Nabi pun demikian. Ucapan Nabi memiliki daya tarik sendiri
karena kekhasannya yang berbeda dengan al-Qur’an. Beliau bersabda:
“Allah memberikan saya kalimat-kalimat yang lengkap” (Syaikh Thusi,
Amali, juz 2, hal, 98-99). Nabi hendak menjelaskan bahwa Allah swt
memberinya kemampuan untuk mengucapkan sebuah kalimat pendek namun
memiliki makna yang demikian luas.
Ada sebuah hadis yang
melukiskan dengan indah bagaimana Nabi meramalkan masa depan berkaitan
dengan ucapannya. Beliau berharap agar para sahabatnya untuk menuliskan
hadis-hadisnya dan menjaganya agar sampai pada generasi yang akan
datang. Sangat mungkin sekali bahwa generasi yang akan datang lebih
dapat memahaminya. Ucapan beliau: “Farubba Hamili Fiqhin Ghairi
Faqihin wa Rubba Hamili Fiqhin ila Man Huwa Afqahu minhu” (Abbas
Al-Qummi, Safinatul Bihar, juz 1, hal. 392). (sangat mungkin sekali
bahwa perawi hadis tidak memahami apa yang dibawanya. Sangat mungkin
sekali bahwa perawi meriwayatkan sebuah hadis kepada orang yang lebih
memahami darinya).
Hadis di atas menekankan
bahwa generasi selanjutnya biasanya lebih dapat memahami dan
menyempurnakan pemahaman generasi sebelumnya.
Kedalaman perbuatan Nabi
dengan indah ditegaskan oleh Allah sebagai berikut: “Sesungguhnya
Rasulullah adalah teladan yang baik bagi kalian. Meneladani Rasulullah
bagi siapa yang mengharap Allah dan hari akhir serta banyak berzikir
kepada Allah” (Ahzab: 21). Perilaku Nabi adalah sebuah cara bagaimana
seorang muslim menjalani kehidupannya. Sebagaimana ucapan Nabi memiliki
kedalaman makna begitu pula dengan perbuatannya.
Bukankah sering timbul
pertanyaan bahwa mengapa di sini Nabi bersikap demikian sedangkan di
tempat yang lain bersikap lain lagi. Jangankan berbicara tentang
perbuatan Nabi yang umum sifatnya, untuk perilaku paling kecil Nabi pun
dapat dijadikan undang-undang.
Kedalaman ucapan dan
perbuatan Nabi Muhammad saw menjadikan kaum muslimin bersikap mawas
diri. Senantiasa berusaha agar menyejajarkan dirinya dengan teladan
agung Nabi Muhammad saw Ada satu pertanyaan ringan, seberapa banyak kita
kaum muslimin mengenal ucapan-ucapan Nabi? Seberapa besarkah pengaruh
perbuatan Nabi dalam perilaku sehari-hari kita?
Kejujuran sebuah bentuk
keteladanan perilaku Nabi
Salah satu perilaku Nabi
yang dijaga dengan ketat oleh beliau hingga akhir hayatnya adalah
kejujuran. Sebelum menjadi Nabi oleh kaum musyrikin Mekah beliau disebut
sebagai al-Amin. Orang yang tepercaya. Tidak ada satu pun dari orang
Mekah yang mengingkari akan kejujuran Nabi. Ketika berdagang pun orang
selain Mekah mengenal kejujurannya.
Pada peristiwa peletakkan
batu Hajar Aswad, setelah peristiwa banjir yang menghancurkan Ka’bah,
kabilah- kabilah Quraisy berselisih mengenai siapa yang meletakkan batu
Hajar Aswad. Untuk menyelesaikan perselisihan ini mereka sepakat untuk
mencari orang yang tepat. Persetujuan mereka waktu itu adalah siapa yang
lebih dahulu memasuki kawasan Ka’bah, dialah yang akan menyelesaikan
masalah ini. Perselisihan tersebut hampir memunculkan peperangan antar
kabilah. Muhammad mudalah orang yang mereka tunggu. Kata mereka: “Inilah
orang yang paling dapat dipercaya. Ia adalah Muhammad. Kami rela dengan
putusannya”.
Kejujuran jualah yang
membuat beliau dipercaya untuk meletakkan batu Hajar Aswad di tempatnya.
Kejujurannya mendatangkan keuntungan dalam perdagangan yang
dilakukannya untuk Khadijah. Berkat kejujurannya Khadijah mempersunting
beliau menjadi suaminya. Satu hal yang langka ditemukan pada masa kini.
Sebelum menjadi Nabi, Muhammad muda membiasakan dirinya berlaku jujur.
Berbekalkan kejujuran
inilah beliau menyampaikan kenabiannya di hadapan orang-orang Mekah.
Beliau tidak langsung mengajukan mukjizat sebagaimana nabi-nabi yang
lain. Misi dan ajaran yang diemban olehnya adalah harus dimulai dengan
kejujuran. Setelah mendapat perintah untuk berdakwah secara terbuka,
Nabi mengumpulkan orang-orang Mekah untuk menyampaikan risalahnya.
Pertama yang dilakukannya adalah mengingatkan akan kepribadiannya.
Mereka sama setuju bahwa mereka tidak pernah melihatnya melakukan
kebohongan sedikit pun. Bahkan Nabi sempat menguji mereka dengan
pertanyaan, seandainya ia mengabarkan di balik bukit tempat ia berdiri
ada segerombolan pasukan yang akan menyerang kalian apakah kalian akan
percaya dengan omonganku? Jawab mereka adalah “iya, kami percaya”.
Dengan berbekalkan
kejujuran inilah umat Islam mengamalkan ajaran-ajaran keagamaannya.
Kejujuran Nabi ketika menerima informasi dari langit yang disebut wahyu
tidak dapat diragukan lagi. Begitu pula ketika menyampaikannya kepada
manusia. Berawal dari kejujuran menyampaikan informasi wahyu, membuat
ulama Islam membagi ucapan yang keluar dari mulut sucinya. Al-Qur’an
adalah wahyu yang seluruhnya dari Allah, baik kata maupun makna. Amanat
tertinggi yang tak pernah dikenal umat manusia sebelum pengutusan para
Nabi terlebih Nabi Muhammad sebagai pamungkas para Nabi. Sampai saat ini
sejarah belum pernah mencatat ada manusia, berkaitan dengan kejujuran,
yang menyamai Nabi Islam. Yang kedua adalah hadis Qudsi. Makna dari
Allah sedangkan lafad dari Nabi. Dan yang ketiga adalah hadis Nabi
sendiri di mana lafad dan makna dari beliau sendiri.
Kejujuran yang dimiliki
oleh beliau tidak didapat begitu saja. Sama dengan keutamaan lainnya
didapat dengan berlatih secara intensif. Pada awalnya ia melatih dirinya
untuk jujur terhadap dirinya sendiri. Ia selalu berlaku jujur baik
dengan keluarga, tetangga dan masyarakat sekitarnya. Menurut beliau,
bangun keagamaan harus berdiri di atas kejujuran. Mungkin ini salah satu
sebabnya, berkaitan dengan anaknya Fathimah, beliau berkata:
“Seandainya Fathimah melakukan pencurian niscaya aku potong tangannya”.
Ini bukan menunjukkan kesadisan tetapi kejujuran seorang pemimpin dalam
melaksanakan perintah agamanya. Kejujuran terhadap orang lain memang
sulit. Namun lebih sulit lagi adalah bersikap jujur terkait dengan
keluarga dan bahkan diri sendiri. Sebuah pesan moral yang sulit dicari
bandingannya.
Mungkin sebagian orang
meyakini relativisme moral. Namun ketegasan sikap Nabi Muhammad saw
dalam masalah kejujuran tidak pernah berubah. Hadis beliau berkaitan
dengan anaknya dapat menjadi dalil yang baik untuk masalah ini. Nabi
tidak pernah melakukan kompromi dengan kebohongan. Kebohongan akan
menghancurkan hubungan sosial manusia. Bila kebohongan telah merasuk
dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat niscaya kehancuran masyarakat
tersebut tinggal menunggu waktu. Kejujuran adalah keharusan. Oleh Nabi
bangunan masyarakat islam adalah kejujuran. Rasulullah saw ketika
ditanya apakah orang mukmin kikir dan pengecut? Beliau menjawab: “iya”.
Namun ketika ditanya apakah orang mukmin itu pembohong? Beliau dengan
tegas mengatakan” “tidak! Orang mukmin tidak berbohong”.
Teks-teks
Ayat-ayat Al-Qur’an:
1. Wahai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan berusahalah untuk senantiasa
bersama orang-orang yang jujur .
2. Orang-orang yang
mengada-adakan kebohongan hanya mereka yang tidak beriman kepada
ayat-ayat Allah. Mereka adalah orang-orang yang berbohong .
Riwayat-riwayat tentang
Kejujuran:
1. Dari Rasulullah saw:
“Keindahan adalah kejujuran/kebenaran sebuah ucapan. Keutamaan adalah
kebaikan sebuah perbuatan yang benar”.
2. Dari Rasulullah saw:
“Kejujuran adalah berkah. Kebohongan tidak membawa keberuntungan”.
3. Dari Rasulullah saw:
“Hendaklah kalian bersikap jujur, karena kejujuran adalah salah satu
pintu surga”.
4. Dari Rasulullah saw:
“Jangan terpana dengan banyaknya salat, puasa, haji, dan gemuruh suara
mereka di malam hari (salat malam), tapi perhatikan kebenaran ucapan dan
penunaian amanat mereka”.
5. Dari Imam Ali as:
“Kejujuran adalah amanah. Kebohongan adalah pengkhianatan”.
6. Dari Imam Ali as:
“Orang yang jujur adalah orang yang mulia dan terhormat. Seorang
pembohong adalah orang yang lemah dan hina”.
7. Dari Imam Ali as:
“Kejujuran adalah keindahan manusia dan penguat iman”.
8. Dari Imam Baqir as:
“Pelajarilah kejujuran sebelum berbicara”.
9. Dari Imam Shadiq as:
“Hiasan ucapan adalah kejujuran”.
10. Dari Imam Shadiq as:
“Seorang muslim yang berkata jujur tentang seorang muslim yang lain
kemudian orang muslim itu mendapat bahaya maka ia dicatat sebagai orang
yang berbohong. Barang siapa yang ditanya tentang seorang muslim
kemudian dia berbohong untuk menolong orang muslim lain dari bahaya,
niscaya ia tercatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur”.
Riwayat-riwayat tentang
Kebohongan:
1. Dari Rasulullah saw:
“Pengkhianatan terbesar adalah engkau berbicara dengan saudaramu di mana
ia membenarkan ucapanmu sementara engkau membohonginya” .
2. Dari Rasulullah saw:
“Bila seorang hamba berbohong sekali, malaikat akan menjauhkan dirinya
sejauh satu mil karena bau busuk yang keluar dari apa yang
diucapkannya”.
3. Dari Rasullah saw:
“Kebohongan adalah salah satu pintu kemunafikan”.
4. Dari Rasulullah saw:
“Nabi ditanya, apa sajakah perbuatan orang ahli surga itu? Nabi
Menjawab: “Kejujuran. Bila hamba jujur berarti ia akan melakukan
kebaikan. Bila ia melakukan kebaikan maka ia akan beriman. Dan bila ia
beriman niscaya ia akan masuk surga”. Kemudian beliau ditanya kembali:
“Wahai Rasulullah lalu apa sajakah perbuatan ahli neraka itu?” Nabi
menjawab: “Kebohongan. Bila seorang hamba melakukan kebohongan maka ia
termasuk orang yang fasik. Dan bila kefasikannya dilanjutkan ia akan
menjadi orang kafir. Dan bila ia kafir niscaya masuk neraka”.
5. Dari Rasulullah saw:
“Celakalah orang yang berbicara dan kemudian ia berbohong agar orang
lain tertawa. Celakalah ia. Celakalah ia”.
6. Dari Imam Ali as: “Jaga
dan pertahankan diri kalian dari kebohongan. Kebohongan adalah derajat
terendah dari moral seseorang. Kebohongan sejenis kejelekan dan bagian
dari kerendahan”.
7. Dari Imam Zainal Abidin
as beliau menasehati anak-anaknyanya: “Takutlah kalian akan kebohongan
baik besar maupun kecil, dalam kondisi serius ataupun bercanda.
Seseorang yang melakukan kebohongan kecil akan memiliki keberanian untuk
melakukan kebohongan dengan skala yang lebih besar”.
8. Dari Imam Baqir as:
“Sesungguhnya Allah menjadikan kejelekan dan mengikatnya dengan beberapa
gembok. Allah menjadikan kunci gembok-gembok tersebut adalah minuman
keras. Sementara kebohongan lebih jelek dari minuman keras yang
memabukkan”.
9. Dari Imam Shadiq as:
“Sesungguhnya tanda-tanda orang pembohong itu adalah ia mengabarkanmu
berita langit dan bumi, timur dan barat. Bila engkau bertanya kepadanya
tentang hukum-hukum Allah, halal dan haram, ia tidak apa-apa”.
10. Dari Imam Shadiq as:
“Janganlah engkau berbohong karena itu akan menghilangkan kewibawaan”.
Rujukan:
Al-Bihar, 72/235/2,
(dinukil dari Rei Shahri, ibid 3/2675).
Al-Bihar, 72/236/3,
(dinukil dari Rei Shahri, ibid 3/2674).
Al-Kafi, 2/340/8, (dinukil
dari Rei Shahri, ibid 3/2676).
Al-Bihar, 72/192/8,
(dinukil dari Rei Shahri, ibid 3/2677).
0 komentar:
Posting Komentar